Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnyayang terjerat hutang dengan rentenir.
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI.
Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, mengeluarkan UU no. 431 tahun 19 yang isinya yaitu :
- Harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi
- Sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa
- Harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
- Proposal pengajuan harus berbahasa Belanda
Hal ini menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes, Belanda akhirnya mengeluarkan UU no. 91 pada tahun 1927, yang isinya lebih ringan dari UU no. 431 seperti :
- Hanya membayar 3 gulden untuk materai
- Bisa menggunakan bahasa derah
- Hukum dagang sesuai daerah masing-masing
- Perizinan bisa di daerah setempat
Koperasi menjamur kembali hingga pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat.
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai
sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik
dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada
kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula
koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang
konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan
penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan
koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada
kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki
beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil
langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih
dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi
bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan
penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan
kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2).
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih
di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam.
Untuk memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping
banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid
yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau
mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah
dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf
Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika
ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi
simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari
cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah
dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam
yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung
dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian
pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi
yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko
koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di
Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia
Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi
suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam
hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain :
a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
dan di samping itu diperlukan biaya meterai 50 gulden.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat
(SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager
adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji
Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di
mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5
anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan
periode “nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan
akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan
Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat
dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di
Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada
tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.
Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi.
Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi
putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang
bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927
di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau
menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada
tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan
kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan
kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930
didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan
penerangannya;
c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan
pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. penerangan tentang organisasi perusahaan;
e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
( Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian
dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad
no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu
berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun
1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan
Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan
PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN
Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan
tugas menyusun Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada
tanggal 15 Juli 1959 Presiden Soekarno yang juga selaku PAnglima Tertinggi
Angkatan Perang mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan
dan salahsatu daripadanya ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945
berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah
Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya
lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pada tanggal 17 Agustus 1959
Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto
politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan
program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan
menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah
undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan
tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol.
Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang
No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).
Peratuarn ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan
penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara
missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan
sebagai berikut :
(1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945
dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi
peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya
benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi
terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan
ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian
rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan
masyarakat adil dan makmur yang demokratis;
(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina
Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu
menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi
perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada
inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja
tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan
liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara
bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang
sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk
melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasikoperasi
konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal
dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang
sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih
jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector
perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector
koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada
saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi
dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang
Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep
pengembangan koperasi secara massal dan seragam.
Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional KOperasi I
(Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin
dan Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikankan (verpolitisering)
koperasi mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan
Organisasi KOperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata
organisasi koperasi sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang
dipimpin oleh Pemerintah, dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa (Trasnkopenda) menjadi Ketuanya (Team
UGM, 1984, h.143-144).
Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan
(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di
terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat
didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang
terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi :
“Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat
perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan
progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”.
Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut :
“Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak
dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi),
sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan
tantangan daripada Revolusi itu sendiri”
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya
persatuan dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif
Revolusioner berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan
kegotong-royongan antara Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nsakom.
Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :
a) Dalam tahap nasional demokrasis :
1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen
kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan
produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan
feodalisme;
3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang
posisi memimpin;
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.
b) Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
1. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh
manusia atas manusia;
2. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;
3. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat
sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.”
Pasal 7 menyatakan sebagai berikut :
1. “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian.
2. Dengan Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi
dengan Pemerintah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta
bukan koperasi”. Memori penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin
azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan
perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.
Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahuhn 1965
dilangsungkan Musyawarah Nasional KOperasi (Munaskop) II di Jakarta yang
pada dasarnya merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatankekuatan
politik di dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU
Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa
KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) Menyatakan
keluar dari keanggotaan ICA.
Tindakan berselang lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi
pemberontakan Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap pengembangan koperasi.
Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna
politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan
G30S/PKI pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera
disusul langkah-langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas
yang murni dengan cara “ deverpolitisering “. Koperasi-koperasi
menyelenggarakan rapat anggota untuk memperbaharui kepengurusan dan
Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh
untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas koperasi yang sebenarnya